Ada Apa dengan TKW?
Monday, 22 October 2007
Seorang perempuan muda bersikukuh untuk pergi ke Saudi Arabia, menjadi pembantu rumah tangga, mengadu nasib, berharap mendapat riyal untuk membeli kecukupan hidup, seperti halnya anak tetangga yang kini tampak senang dengan untaian perhiasan menghiasi leher hingga kakinya.
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!