Ketika Sekolahku Roboh
Tuesday, 2 October 2007
Hari Sabtu, jam 11 siang waktu itu, entah mengapa Pak guru sudah mengakhiri pelajaran di kelas. Jelas lebih awal dari seharusnya. Anak-anak sih senang sekali. Apalagi di akhir pekan seperti itu, untuk belajar memang bawaannya agak malas. Yang terbayang adalah liburan setelah selama 6 hari berturut-turut dihadapkan pada situasi yang rutin.
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!